31 October 2012

Kompleksitas Diri


Ketika gua memutuskan untuk pergi ke gym dikarenakan kebiasaan dan motivasi sudah membangun formasi dalam diri, gua entah mengapa bisa melakukan perubahan mendadak untuk membatalkan rencana matang gua untuk ke gym dan membelokan keinginan menuju ke rumah teman untuk bermain atau "bermain". Terkadang gua berpikir bagaimana bisa hasrat mengalahkan logika dan cara pikir manusia lalu mengkudeta segala rencana dan formasi hidup yang sudah tertata rapih pada diri kita. Rusak begitu saja, terlanggar begitu saja, terabaikan begitu saja.

Gua mengakui sebagai sesosok manusia yang memiliki cipta, rasa dan karsa seperti yang sering digembar-gemborkan pada pelajaran PPKN, masih saja kalah oleh hasrat dan birahi yang terkadang mensabotase hidup gua dan berakhir pada sebuah kehampaan yang tidak menyangkan. Kok bisa ya? Gua tahu otak adalah bagian superior pada manusia, namun terkadang reaksi tubuh bisa merampas kuasa otak dan menjadikan sebuah revolusi kegiatan yang diluar dugaan. Sesuatu yang tidak terpikirkan sebelumnya namun terjadi tanpa rencana, tanpa strategi dan tanpa motivasi.

Gua sebagai sesosok manusia mengakui memiliki kompleksitas tersebut. Gua mengakui bahwa terkadang, disaat-saat tertentu, gua membiarkan logika gua terbenam dalam lumpur hasrat dan segala sesuatu yang telah terencana sebelumnya terpaksa harus tertunda atau terbatalkan.

Gua sebagai sesosok manusia mengakui bahwa kenapa gua menyebut ini kompleksitas; karena bukan berarti gua nggak mencoba untuk menyelamatkan kembali superior otak gua dari para pengganggunya. Gua selalu mencoba untuk jauh lebih mendayagunakan otak gua untuk memilah kembali, ketika hasrat dan keinginan ragawi mencoba menarik gua ke segala sesuatu yang bukan rencana. Mencoba untuk memikirkan ulang. Mempertimbangkan ulang. Hal inilah yang membuat gua sering berakhir dalam diam, seperti mayat hidup yang melakukan kegiatan standar "default" manusia; berjalan seperti orang mati, karena ada perang batin dalam diri gua. Dan ketika perang batin berakhir, biasanya sudah terlambat. Hasil akhir sudah ditentukan oleh alam dan situasi.

Entah ini karena faktor gua yang belum dewasa atau faktor bahwa gua hidup dan mungkin akan selalu hidup dalam kompleksitas diri seperti ini. Otak dan Raga selalu saling berargumen memberikan keputusan "terbijak" dari setiap pilihan yang ada. Nggak mungkin juga kan gua hidup seperti ini. Gua ingin hidup dimana otak gua menguasai setiap organ tubuh gua, dan apapun yang akan dan ingin gua lakukan adalah karena otak gua yang sudah mendesain itu semua dan memutuskannya untuk mengeksekusinya. Bukan campur tangan organ tubuh lain yang mungkin terlalu 'peka' sehingga kegiatan yang terjadi pun bukan lagi keputusan otak, tapi keputusan raga.

Semoga sesuatu yang bernama "umur" akan secara perlahan menyelamatkan gua dan membantu memperbaikin kompleksitas ini menjadi sesuatu yang simpel namun benar. Karena gua percaya, kebijaksanaan akan bertumbuh seriring dengan bertambahnya pengalaman... serta usia. Dan ketika saat itu tiba, gua akan dengan berkuasa berkata; "hai kamu yang di bawah, sekarang kamulah yang patuh sama saya. Bukan lagi saya yang patuh sama kamu!"



Related Posts

There are 6 comments on post : Kompleksitas Diri

-Gek- said... (Reply)

kalau kesetaraan gimana Ell... itu lebih nyaman sptnya buat gw. :)
Have a nice day.

Chici said... (Reply)

Ngebacanya aja udah komplek isinya ell, perang batin itu memang bikin capek :(

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" said... (Reply)

serius... ini tulisan lu yang paling berat, el... udah baca 3x, tetep ga ngeh... -_-

Ellious Grinsant said... (Reply)

@ -Gek-

Itu bisa juga mbak, hehehe...

Ellious Grinsant said... (Reply)

@ chici

Hahahah, setuju, perang batin emang bikin capek. hehehe...

Ellious Grinsant said... (Reply)

@ 1mmanuel'Z-Note5

Amacaaaa?

Ciyus miapah?

Berat aja atau berat banget?

Post a Comment