13 October 2019

Alay Urban

pic: wallpaperswide

Anak remaja pake baju warna tabrakan. Cewek pake hot pants, kemeja putih, rompi hitam, dasi merah, topi merah plus sepatu booth merah menyala. Cowok pake celana bahan super ketat, kemeja gelap, gesper merah berduri-duri, kaca mata spion. Mungkin itu sudah nggak asing lagi sih bagi kita. Atau yang kalo ngirim SMS memadu-padankan penggunaan huruf yang overload, angka, tanda baca, tanda pagar, bintang, kurung buka-kurung tutup, kurung kurawal, sama dengan dan lain-lain. Mahluk-mahluk seperti mereka biasa kita kenal dengan sebutan alay. Gua yakin sebagian dari kita adalah golongan yang menertawakan mereka karena eksistensi mereka.

Namun sebenarnya kita sendiri sadar nggak sih, ada jenis alay baru yang tanpa sadar mulai menjakiti remaja-remaja, muda-mudi bahkan orang-orang dewasa saat ini. Sebuah jenis alay yang sebenarnya hampir sama parahnya dengan alay yang sebelumnya. Jenis alay yang memang tidak norak dalam arti penampilan, namun norak dalam arti pergaulan. Jenis alay yang disebut dengan Alay Urban.

Gua nggak tau sih yang lain pada nyadar apa nggak. Tapi kalo gua sendiri menyadari ini. Saat orang-orang yang ingin merasa gaul atau eksis berusaha untuk ikut-ikutan zaman. Okelah, zaman Blackberry semua orang meng-alay dengan pengen ikutan punya BB dengan alasan biar dibilang keren dan elegan. Padahal kenyatannya, fungsi BB (semenjak sindrom ini melanda indonesia) sudah turun dari gadget yang menentukan kelas sosial, menjadi gadget sejuta umat. Dan saat itu kegunaan BB dari hape yang digunakan untuk membantu keperluan kantor dan bisnis menjadi hape yang digunakan untuk keperluan chat saja.

Lalu Alay Urban mulai menjamah ke produk baru. Yang mendefinisi ulang kata gaul, eksis dan berkelas ke batas yang baru. Tablet. Di fase ini kaum alay urban mulai menemukan tingkatan baru dalam dunia pergaulan "ngakunya" eksekutif-eksklusif dengan mulai beramai-ramai menggunakan tablet. Mulai dari tablet dengan jenis "super-mahal" sampai tablet dengan jenis "murah-meriah-yang-penting-punya". Pada dasarnya tablet diciptakan dengan spesifikasi-spesifikasi khusus untuk konsumen-konsumen tertentu dengan kebutuhan yang spesifik. Ada yang untuk membaca, untuk belajar, untuk presentasi bisnis, untuk programming, untuk kebutuhan kantor dan keperluan lain. Namun Alay Urban merusak itu semua dengan menyamaratakan fungsi tablet sebagai alat untuk gaul. Yah, mereka membeli tablet (yang inginnya bagus) namun pada akhirnya hanya digunakan untuk chat, main game, upload foto sarapan/makan siang/makan malam mereka di instagram, sampai untuk dipamerkan ketika berkumpul bersama teman ditempat umum. Eksistensi ke-alay-an mereka ditegaskan dengan ketika jalan-jalan hanya menenteng tablet saja, tanpa perlu bawa-bawa barang lain. Biarlah barang-barang lain ditinggal di rumah, yang penting tablet kepunyaan bisa disaksikan dunia.

Detil pergaulan Alay Urban sempat mengheboh ketika Uniqlo membuka gerai pertama mereka di Indonesia. Sontak semua member Alay Urban bergejolak penuh nafsu dan hasrat untuk segera menyerang toko pakaian tersebut ketika waktunya dibuka. Jauh sebelum toko tersebut dibuka, euforia sudah menggelinjang-gelinjang dikalangan anak bangsa, maksud gua anak Alay Urban. Secarap bertahan namun frekuentatif mereka mulai sering membicarakan produk-produk toko tersebut tidak lupa diselipkan rencana belanja mereka diliputi detil-detil harga dan akan digunakan untuk acara apa. Sebagian dari mereka mulai menyusun rencana strategis jangka panjang-jangka pendek untuk membeli produk-produk yang bisa mensinkronisasikan eksistensi pergaulan mereka kearah yang sudah ditetapkan. Dan begitu toko tersebut dibuka, para Alay Urban yang berkekayaan pas-pasan langsung menyerbu bagaikan orang-orang miskin berebut raskin. Mereka menyerang toko tersebut seolah hari itu adalah hari terakhir sebelum kiamat menimpa bumi, karena embel-embel diskon gede-gedean. Disana mereka memporak-porandakan toko tersebut untuk mencari barang-barang dalam list mereka untuk dipakai sebelum bumi hancur dan mereka mati dalam fashion.

Jangan lupakan ketika virus Fixie menyebar dan menginkubasi dalam ranah pergaulan Alay Urban. Sepeda yang entah dari mana munculnya, tiba-tiba secara perlahan merayapi jalan-jalan ibu kota dengan warna-warnanya yang menyilaukan. Alay Urban yang tadinya tidak hobi bersepeda secara ghaib menjadi suka bersepeda dengan alasan kamuflase "pengen hidup sehat", namun kedok dibalik semua itu apalagi kalo bukan ingin singkronisasi pergaulan. Alay Urban mulai terlihat dalam momen-momen Car Free Day di hari minggu, bergerombol pada saat pulang kerja, bergoes bersama dalam suka dan canda tawa di sabtu siang yang cerah. Atau berkumpul di spot-spot tempat hang out dimana sepeda fixie mereka digunakan sebagai kartu pass untuk masuk dalam pergaulan. Dan begitu alam mulai berhasil memusnahkan virus Fixie, para Alay Urban berlabel "gaul hidup sehat" secara perlahan sirna dari muka bumi. Well, mereka nggak lenyap, hanya saja pergaulan dengan fixie sudah dirasa tidak eksis lagi, jadi lebih baik tuh sepeda diletakan di gudang saja, daripada dipake terus dan dianggap ketinggalan jaman.

Alay Urban mungkin akan menistakan Alay Versi Lama karena cara mereka berkirim pesan. Kombinasi huruf, angka, tanda baca, simbol-simbol yang disatukan dalam kalimat akan terlihat mengerikan jika dibaca oleh manusia normal, apa lagi oleh Alay Urban yang jelas-jelas tidak mau disamakan sama Alay Versi Lama. Bagi Alay Urban cara berkirim pesan seperti itu sangat kampungan dan tidak tahu tata bahasa. Namun entah kenapa ALay Urban tidak pernah menyadari bahwa mereka sendiri punya cara berkomunikasi yang pada akhirnya tidak memiliki etika tata bahasa. Jika Alay Versi Lama berkomunikasi dengan bahasa alay, maka Alay Urban berkomunikasi dengan emoticon. Ya, mereka kecanduan emoticon. Sejak Line dan Kakao Talk mulai menginsepsi pikiran mereka dengan fungsi dan kemenarikannya. Alay Urban mulai berburu emoticon-emoticon lucu untuk digunakan dalam percakapan mereka. Mereka rela bayar mahal demi mendapatkan Emoticon impian mereka, dan kemudian mereka kerap pergunakan (baca: pamerkan) dalam setiap percakapan baik bersifat pribadi maupun dalam group. Berharap ada teman mereka yang memuji emoticon-nya karena unik dan lucu, dan Alay Urban akan tersenyum dalam kebanggaan.

Kenyataan paling pahit yang gua dapati dari fenomena ini adalah anggota-anggota yang bergabung dalam Alay Urban ini. Jika Alay Versi Lama adalah kumpulan anak-anak remaja korban kecelakaan mode dan pergaulan. Dimana sebagian dari mereka mungkin tidak punya cukup otak untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang kecelakaan fashion dan mana yang high fashion, mana yang bisa dibaca dan mana yang tidak bisa dibaca. Sementara Alay Urban justru muncul dari orang-orang yang berpendidikan. Mereka yang bersekolah, berkuliah, bahkan yang sudah bekerja di gedung-gedung tinggi nan elegan. Mereka dari golongan orang-orang yang memang berkelas, bercita rasa, memiliki gaya berpakaian yang modis, gadget expert, social media expert, namun semua itu adalah hasil contekan. Hasil dari contoh-contoh yang mereka pelajari mati-matian demi singkronisasi pergaulan. Mereka ingin tampak berkelas, maka mereka berjuang mati-matian untuk bisa dianggap salah satu dari antaranya. Mereka tidak tinggal di daerah-daerah pinggiran, namun tinggal di pusat kota, di epicentrum ibu kota, di tengah titik pergaulan, namun sebagian dari mereka berstatus anak kost, sewa kontrakan atau patungan sewa apartement.

Apapun mereka lakukan dan korbankan sehingga ketika mereka berjalan ditengah keramaian, mereka bisa berjalan dengan kepala tegak. Karena atribut-atribut pergaulan mereka sudah lengkap dipakai ataupun dipegang. Ketika berjalan di mall mereka tidak minder karena mereka telah serupa. Ketika ngongkrong bersama di Excelso, mereka tidak minder karena sudah sama rata sama gaya. Dan ketika berchating ria, mereka tidak perlu bingung, karena mereka sudah mengerti enkripsi-enskripsi komunikasi emoticon.

Gua nggak tau mereka sadar atau tidak, bahwa mereka sudah terlabelkan dengan label Alay Urban. Bahwa mereka sudah menjadi Alay juga, hanya saja mereka tidak tau ataupun tidak sadar. Percaya atau tidak, fenomena ini sudah ada dan terjadi, hanya saja kita sulit menyadari karena mereka tidak pernah tampil norak... atau memang karena kita juga adalah bagian dari mereka.





regards,

Related Posts

There are no comments on post : Alay Urban

Post a Comment